Apakah Anda sering mendengar tentang permasalahan masyarakat akan tempat tinggal? Di beberapa pemberitaan seringkali dibahas tentang penggusuran rumah warga. Ini tentu membuat masyarakat resah. Apakah tempat tinggal yang ditinggali saat ini aman untuk ke depannya? Lalu, bagaimanakah hak atas tanah yang dimiliki seseorang agar tidak  bermasalah ke depannya?

Pada dasarnya, setiap warga Indonesia punya hak atas tanah. Tak hanya untuk memiliki, namun juga mengelola tanah serta bangunan di atasnya. Bahkan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 (3), menyatakan bila, ” bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Inilah yang mendasari adanya hak atas tanah bagi masyarakat. Bahkan, secara tertulis dicantumkan pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dan diatur di dalam Pasal 16. Hak-hak atas tanah tersebut antara lain: hak milik; hak guna bangunan; hak guna usaha; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan.

Hak Milik

Hak milik merupakan hak penuh yang dimiliki seseorang untuk menguasai atau mengelola sebuah lahan atau tanah. Hak ini didapatkan secara turun temurun, atau diwariskan. Misalkan Anda mendapatkan warisan rumah atau tanah dari orangtua. Pemanfaatan atas lahan tidak hanya disesuaikan dengan tujuan diperolehnya lahan tersebut. Akan tetapi, juga disesuaikan dengan lokasi wilayah tanah tersebut. Hak milik ini tidak hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) saja, tapi juga bisa dimiliki oleh badan-badan hukum tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum, yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah, yaitu :

  1. Bank-bank negara;
  2. Perkumpulan perkumpulan koperasi pertanian;
  3. Badan-badan keagamaan;
  4. Badan-badan sosial.

Hak milik atas tanah tentunya harus memiliki alat bukti berupa sertifikat, yang diterbitkan melalui pendaftaran tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah dari tanah itu berlokasi. Jadi, jika Anda mendapat warisan berupa sebidang tanah di pedesaan dan belum bersertifikat, maka segera urus pembuatan sertifikatnya agar nantinya tidak dianggap sebagai tanah yang terabaikan atau tidak ada pemiliknya.

Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan (HGB) merupakan hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang warga Negara Indonesia ataupun badan hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia. Dengan HGB ini, seseorang atau badan hukum dapat mendirikan bangunan di atas sebidang tanah yang bukan merupakan miliknya sendiri. Tapi, HGB punya batas waktu, yaitu maksimum 30 tahun, dan dapat dipindahakan kepada pihak lain. Biasanya HGB  dimiliki oleh orang yang tinggal di apartemen, rumah susun, atau gedung milik badan hukum Indonesia di suatu lokasi tertentu.

Sama halnya dengan Hak Milik, HGB juga harus disertai alat bukti yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Apa bedanya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM)? SHM merupakan bukti kepemilikan terkuat dikarenakan lahan dapat dimiliki tanpa batas waktu, sehingga dapat diwariskan. Pemegang hak milik punya kekuasaan untuk mengelola tanah beserta bangunan di atasnya secara penuh.

Berbeda dengan SHGB. Apabila masa berlaku berakhir maka harus diperpanjang oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Selain itu, SHGB juga dapat dihentikan apabila pemegang Hak Guna Bangunan tidak lagi memenuhi syarat, sehingga hak atas tanah berupa hak guna bangunan harus dilepas atau diberikan kepada orang lain, atau dikembalikan kepada negara, pemegang hak pengelola, atau pemegang hak milik.

Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak untuk mengelola tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara dalam jangka waktu tertentu. Tidak hanya warga Indonesia, HGB juga dapat dimiliki badan hukum di Indonesia. Bila Anda akan membuat usaha di atas lahan tak bertuan atau dikuasai Negara, maka Anda dapat mengajukan hak atas tanah berupa HGU. Jangka waktu untuk HGU ini maksimum selama 25 tahun, dan dapat diperpanjang selama maksimum 35 tahun. Apabila ingin memperpanjangan HGU, maka  ajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum HGU tersebut berakhir. HGU meliputi bidang perkebunan, pertanian, perikanan serta peternakan dengan luas minimum 5 hektare untuk perorangan serta 25 hektare untuk badan usaha. Untuk luas dari area tanah yang dapat dimanfaatkan akan ditetapkan oleh kepala BPN atau menteri negara agraria.

Hak Pakai

Hak Pakai hampir mirip dengan HGU. Dengan Hak Pakai, maka seorang warga Negara Indonesia, dapat memanfaatkan atau menggunakan tanah milik orang lain, atau yang secara langsung dikuasai oleh negara, serta bukan sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu. Hak ini juga dapat dimiliki oleh badan hukum Indonesia, atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia.  Untuk jangka waktunya sendiri dibagi dalam dua kategori, yaitu:

  1. Berdasarkan Pasal 45 PP No. 40/1996, Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diberikan selama maksimal 25 tahun, serta dapat diperpanjang maksimal selama 20 tahun.
  2. Berdasarkan Pasal 49 PP No. 40/1996, Hak Pakai atas Tanah Milik Perorangan, memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun, serta tidak dapat diperpanjang. Akan tetapi, hak pakai ini dapat diperbaharui dengan kesepakatan atara pemilik hak pakai dengan pemegang hak milik dari tanah tersebut.
Hak Sewa

Hak Sewa untuk bangunan merupakan hak seorang warga negara indonesia atau badan usaha ketika sedang menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan. Pemilik hak sewa harus mengeluarkan sejumlah uang sewa kepada pemilik tanah tersebut. Waktu sewa tanah beserta biaya ditentukan oleh kesepakatan antara pemilik hak sewa dan pemegang Hak Milik dari tanah tersebut.

Pemegang Hak Sewa sendiri terdiri atas:

  1. Warga negara Indonesia;
  2. Orang asing yang berdomisili di Indonesia;
  3. Badan hukum yang berdomisili di Indonesia serta didirikan menurut hukum Indonesia;
  4. Badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia.

Itu sebabnya, Hak sewa untuk bangunan diikuti dengan perjanjian sewa tanah secara tertulis, antara pemegang hak milik lahan dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. Agar terjamin secara hukum, maka perjanjian tersebut harus dibuatkan akta dari PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), serta didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan

Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan biasanya dimiliki untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam hutan. Namun, pastikan dulu bila tidak ada yang memegang hak milik atas hutan tersebut. Memang, pada Pasal 46 UUPA disebutkan apabila hanya warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk membuka tanah dan hasil hutan. Akan tetapi, tetap harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah. Itu sebabnya seseorang tidak bisa secara otomatis memiliki hak untuk memungut hasil hutan, namun hak tersebut harus disahkan oleh pemerintah.

Nah sudah jelas bukan, pada dasarnya kita semua memiliki hak atas tanah untuk tinggal. Jadi, hak atas tanah manakah yang ingin Anda miliki?