Apakah Anda penasaran, bagaimana sih profesi advokat ini bisa ada di Indonesia? Dan seperti apa konflik organisasi advokat yang terjadi di Indonesia saat ini? Yuk disimak!
Sejarah Advokat
Jadi, profesi ini dibawa pada zaman Kolonial Belanda. Nggak heran sih, karena hingga saat ini peradilan di Indonesia dilakukan sesuai dengan peradilan atau hukum di Belanda. Kala itu, Belanda telah menjalankan pengadilan yaitu Raad Van Justittie dan Landraad. Tentunya tidak hanya pengadilan, tapi juga profesi advokat namun dalam lingkup dan komunitas kalangan Belanda dan orang asing lainnya. Salah satu organisasi advokat ketika itu ialah “Balie van Advocaten” yang didirikan oleh Mr. Sasro Mudjono, Mr. Iskak dan Mr. Soenarjo.
Seiring berjalannya waktu, para priayi pribumi mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah Belanda. Mereka turut belajar mengenai keilmuan yang dibawa oleh Bangsa Belanda, termasuk ilmu kedokteran dan hukum. Pada tahun 786, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Fakultas Hukum di Batavia dengan nama Rechtshogescholl. Padahal, mereka mendapatkan tentangan keras dari para ahli hukum Belanda. Sekolah ini pun, memiliki siswa sebanyak 137 orang, yang terdiri dari 36 orang Belanda, 25 orang Cina, dan 70 orang orang pribumi asli. Lulusannya mendapatkan kesempatan untuk ke Leiden Belanda. Dan di sinilah para pribumi mengenal ilmu hukum dan mulai mempelajari kegiatan advokat, meskipun hanya sebagai asisten advokat.
Terbentuknya Organisasi Advokat
Profesi ini sempat terlupakan setelah Indonesia merdeka. Namun para pemuda dari kaum pelajar merasa bahwa profesi ini harus tetap ada untuk penegakan hukum di Indonesia. Itu sebabnya, pada tahun 1963 para pemuda Indonesia membentuk Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada 14 Maret 1963. Seiring dengan perkembangan profesi advokat di Indonesia, maka diselenggarakanlah Kongres I Musyawarah Advokat Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bila PAI dileburkan menjadi Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), dan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Peradin sempat berhasil mencuri hati pemerintah orde Baru. Hal tersebut membuat Peradin dinyatakan sebagai satu-satunya wadah bagi profesi Advokat ketika itu. Hal tersebut dinyatakan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat, selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) pada tanggal 3 Mei 1966.
Sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 1970, Peradin mulai mengembangkan diri ke arah suatu idealisme untuk mewujudkan suatu negara hukum pemisahaan kekuasaan, peradilan independen dan supremasi hukum atau rule of law. Itu sebabnya, Peradin mensponsori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ketika Kongres ke V tahun 1977 di Jogjakarta, Peradin menegaskan diri sebagai Organisasi Perjuangan di bidang hukum. Peradin ingin mewujudkan pandangannya yang lugas dan tegas sebagaimana yang terpahat dalam lambang Peradin dengan moto Fiat Justitia Ruat Coelum (demi keadilan sekalipun langit runtuh). Ini membuat penguasa Orde Baru merasa tersinggung. Dampaknya, status Peradin sebagai satu-satunya wadah Advokat mulai dilunturkan. Bahkan mulai bermunculan berbagai organisasi advokat lainnya. Keadaan ini dimanfaatkan pemerintahan kala itu. Peradin mulai dibubarkan secara halus. Caranya adalah dengan cara memaksa Peradin meleburkan diri ke dalam satu-satunya wadah profesi Advokat. Akhirnya pada tanggal 10 November 1985, pada kongres Peradin ke VI di Bandung, Ketua Mahkamah Agung Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said mengusulkan agar dibentuk Organisasi baru Advokat. Pada kongres tersebut, dibentuk Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) sebagai organisasi baru dan satu-satunya wadah bagi profesi Advokat. Dan terpilihlah Harjono Tjitrosoebono (saat itu ketua DPP PERADIN) sebagai Ketua Umum Ikadin, dan Djohan Djauhari sebagai Sekretaris Jenderal.
Dari awal pembentukannya, Ikadin sudah mendapatkan hambatan. Ini dikarenakan Ikadin membatasi keanggotaan hanya bagi Advokat yang berpraktek, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Jadi terdapat perbedaan status antara advokat dengan pengacara. Ketika itu pengacara masih merupakan profesi, yang kegiatannya hanya untuk sebatas memberikan konsultasi dan nasihat hukum. Pengacara tidak dapat mewakili ataupun mendampingi klien dalam persidangan. Ini membuat organisasi Ikadin dipandang eksklusif, sehingga mulai muncul organisasi-organisasi baru seperti IPHI, AAI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan terakhir APSI.
Undang-undang tentang Advokat
Dalam perkembangan selanjutnya kemudian disahkanlah Undang-Undang RI No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bila “Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.”
Dan dijelaskan pada Pasal 28, ayat :
(1) Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
(2) Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Terbentuknya Peradi
Inilah yang menyebabkan organisasi-organisasi advokat yang sudah ada kala itu, yaitu IKADIN, APHI, AAI, HAPI, SPI, AKHI HKHPM dan APSI meleburkan diri untuk membentuk sebuah organisasi yang menjadi wadah bagi profesi advokat. Sehingga terbentuklah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya Organisasi Advokat. Bahkan banyak Advokat Ikadin yang menduduki kepengurusan Peradi di seluruh Indonesia. Kemudian pada tanggal 7 April 2005, di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mulai diperkenalkan ke masyarakat. Dengan dihadiri oleh sekitar 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pada saat Peradi dibentuk, Otto Hasibuan yang merupakan Ketua Umum DPP Ikadin dipilih sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) selama 2 periode, yaitu sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2015.
Peradi ketika itu dinyatakan sebagai wadah tunggal. Jadi, berdasarkan UU tentang Advokat, maka kewenangan untuk melakukan pengangkatan advokat diberikan kepada Peradi. Sayangnya, terjadi perpecahan di internal Peradi sendiri. Selain itu, profesi advokat mulai diminati banyak orang. Dan ada juga yang berniat untuk membentuk organisasi baru untuk menampung aspirasinya. Untuk itu, sebagai warga Negara Indonesia yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul seperti dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, maka beberapa advokat mulai membentuk organisasi baru.
Pada tanggal 30 Mei 2009 dibentuklah Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang diprakarsai oleh Prof Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H, dan dihadiri oleh sekitar 3000 advokat yang berasal dari 30 provinsi di Indonesia. Mereka melakukan klaim bila KAI menjadi Wadah dari profesi Advokat di Indonesia. Di mana terpilih Indra Saknum Lubis, SH sebagai Presiden KAI, dan Roberto Hutangalung, S.H., M.H sebagai sekretaris Jenderal KAI.
Gugatan Wadah Tunggal
Eksistensi Peradi sebagai wadah tunggal mulai dipertanyakan. Terutama, karena merasa kewenangan Peradi sebagai organisasi yang ditunjuk untuk pengangkatan advokat, membuat isi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjadi multitafsir. Akhirnya, pada tahun 2010, sekelompok advokat yang terdiri dari (Alm) Bob P. Nainggolan, Maruli Simorangkir, Murad Harahap, Lelyana Santosa, Nursyahbani Katjasungkana, David Abraham, Firman Wijaya, dan SF. Marbun, mengajukan perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi RI, dengan nomor registerasi perkara No. 66/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 66”). Di sinilah para pemohon mempersoalkan banyak hal terkait profesi advokat. Tidak hanya mengenai ketentuan multitafsir UU Advokat, yang pada faktanya tidak menyebutkan secara spesifik Indonesia hanya memiliki satu organisasi. Akan tetapi, juga persoalan lain yaitu hak berserikat advokat, sebagai hak khusus dari profesi bebas (free legal profession) advokat yang berbeda dengan penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim yang tidak boleh dibatasi kecuali oleh keputusan para advokat itu sendiri melalui kongres advokat yang demokratis. Hasilnya, dalam Amar Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan Menolak Permohonan para Pemohon.
Putusan tersebut tidak meredam gejolak yang ada di antara organisasi advokat. Bukan menyurutkan semangat para advokat untuk kembali melakukan gugatan wadah tunggal advokat, bahkan pada tahun 2015 beberapa advokat kembali mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi RI. Lagi-lagi dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kembali menyatakan Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Gugatan Wadah tunggal masih terus menjadi polemik di kalangan para advokat saat ini. Bahkan, saat ini telah tercatat UU Nomor 18 tahun 2003 ini telah digugat 17 kali oleh berbagai pihak. Namun, polemik ini tidak membuat profesi advokat redup, namun terus hidup dengan berpegangan pada motto “fiat justitia ruat coelom.”